Ekonom Dradjad Wibowo menyebutkan 2017 ini banyak berita tentang penutupan gerai ritel, baik 7 Eleven (Sevel), Ramayana, Matahari, ataupun Hypermart. Banyak petinggi serta ekonom yang berasumsi remeh hal diatas. Mereka katakan penutupan itu jadi efek dari mengembangnya berbelanja on-line. Alur berbelanja customer saat ini menghadap ke on-line. " Saya setuju, berbelanja on-line memanglah berkembang cepat. Tapi salah kaprah bila dipandang kalau anjloknya ritel th. ini karna pesatnya berbelanja on-line, " tutur Dradjad, dalam info tertulis, Sabtu (16/9/2017). Kenapa? Di Amerika Serikat (AS) sebagai kiblat berbelanja on-line dunia saja, penjualan ritel tetaplah bagus. Pada 2016 umpamanya, berbelanja e-commerce di AS tumbuh 15, 6%, lebih tinggi dari perkembangan 2015 yang 14, 6%. Market share e-commerce pada penjualan ritel diluar otomotif serta bahan bakar minyak juga bertambah cepat dari 9, 5% (2014), 10, 5% (2015) serta 11, 7% (2016). Nyatanya pesatnya berbelanja on-line itu sekalipun tidak mengakibatkan kerusakan penjualan ritel. Pada 2016 penjualan ritel AS tumbuh 3, 3%, angka yang tinggi untuk AS. Di 2017 ini pertumbuhannya relatif sekitar 3, 5-4, 0%. Mengingat sekitaran 2/3 dari perekonomian AS bergantung pada berbelanja mengkonsumsi rumah tangga, kemampuan ritel diatas bertindak krusial pada kuatnya perkembangan ekonomi AS. Di Inggris juga fenomenanya serupa. Walau diwarnai kegaduhan referendum Brexit 23 Juni 2016, penjualan ritel Inggris tetaplah tumbuh tinggi (untuk ukuran Inggris), yakni 2%, sama juga dengan 2015. Th. ini, karna ketidakpastian negosiasi Brexit, perkembangan itu mungkin saja turun ke 1, 6%. Lalu, berapakah perkembangan penjualan on-line di Inggris th. 2016? Nyaris 16%! Indonesia memanglah mencatat perkembangan berbelanja on-line teratas didunia, rata-rata sekitaran 37% per th. mulai sejak 2013. Tapi ini karna pangsa berbelanja on-line di Indonesia masih tetap begitu kecil. Pada 2016, pangsa itu baru sekitaran 2, 2% dari penjualan ritel. Kenyataan-fakta diatas menunjukkan, perubahan cepat berbelanja on-line tidak automatis mengakibatkan kerusakan penjualan ritel. Di AS serta Inggris, penjualan ritel tumbuh kurang lebih sama dengan laju perkembangan ekonominya. Karenanya, menurut Dradjad, salah kaprah segera menuding berbelanja on-line jadi penyebabnya anjloknya perkembangan penjualan ritel. Terlebih, data Indonesia berikan deskripsi yang mencemaskan. Pada th. 2015, penjualan ritel tumbuh 8%, jauh diatas perkembangan ekonomi sebesar 4, 88%. Pada 2016, penjualan ritel tumbuh 9%, bebrapa sekali lagi jauh diatas perkembangan ekonomi yang 5, 02%. Semester pertama 2017 ini, data AC Nielsen mengatakan penjualan ritel cuma tumbuh 3, 7%. Ini dibawah perkembangan ekonomi yang mungkin saja 5% lebih. " Jadi, sumber problemnya bukanlah pada berbelanja on-line, tapi ada aspek beda yang lebih fundamental, " kata Dradjad, yang Lektor Kepala Perbanas Institute ini. Dradjad mengira, customer kelas menengah atas memanglah menahan belanjanya th. ini. Ia seringkali mendengar mengenai hal semacam ini dari customer yang aktor usaha menengah atas di Jakarta. Mereka tidak nyaman serta menanti, bagaimana pemerintah juga akan mewujudkan ancaman yang menakutkan mereka berkaitan amnesti pajak, kartu credit serta dibukanya rekening bank. " Ini baru satu sangkaan. Mungkin saja saja ada aspek beda, seperti pelemahan penjualan di sebagian bidang, " papar Dradjad.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorHello My Name is Shara Alexander Archives
August 2019
Categories |